Penyintas Terakhir di Bumi
August 21, 2024
Di dunia yang dulunya ramai dengan tawa dan canda, kini hanya ada kesunyian dan kesedihan. Lampu-lampu kota yang terang benderang telah padam, dan gedung-gedung yang megah kini tinggal reruntuhan berlumut. Hanya ada satu penyintas yang tersisa, hidup dalam kesendirian di planet yang pernah dipenuhi manusia.
Penyintas itu bernama Aldo. Seorang pemuda berusia dua puluh tujuh tahun yang rambutnya mulai memutih karena tekanan dan kesepian. Dia adalah satu-satunya yang berhasil bertahan setelah terjangan wabah misterius yang membunuh hampir seluruh umat manusia. Saat ia membangunkan diri setiap hari di bangunan usang yang dijadikannya tempat tinggal, kesunyian menjadi teman setia yang terpaksa dihadapi.
Kota di mana Aldo tinggal dulunya adalah pusat kehidupan. Di sinilah kedai kopi mengeluarkan aroma harum dan pasar selalu dipenuhi pembeli dengan keragaman barang yang ditawarkan. Kini, semua itu hanyalah kenangan. Kapan terakhir kali Aldo mendengar suara tawa dan teriakan riang anak-anak bermain di taman? Semua ini telah berganti dengan suara berdesir angin yang menyeret dedaunan kering.
Aldo tidak tahu apa yang telah terjadi. Hari-harinya pun berlalu dalam rutin yang tak berujung. Dia biasanya akan menjelajahi bangunan di sekitarnya, mencari makanan yang mungkin masih bisa dimakan. Menemukan sisa-sisa kehidupan kecil, dia sering kali teringat momen-momen indah bersama teman dan keluarganya — mereka yang sekarang telah tiada.
Satu sore, saat matahari terbenam memancarkan cahaya oranye cemerlang di langit, Aldo memutuskan untuk pergi ke taman kecil di dekat tempat tinggalnya. Dia duduk di bangku tua, memandangi pohon-pohon yang sudah mulai layu. Di sebelahnya, ada bangku lain yang seolah menunggu kehadiran seseorang. Rasa sepi yang mendalam menderanya, mengingatkan dirinya akan kasih sayang yang hilang.
“Saya harap kamu baik-baik saja di mana pun kamu berada,” bisiknya kepada bayang-bayang masa lalunya.
Setiap malam Aldo berusaha untuk tidur, meskipun mimpi-mimpinya sering kali membawa kembali kenangan pahit. Dia akan terbangun di tengah malam, terjaga dari mimpi buruk, dan merasa seolah ada sesuatu yang terlewatkan. Dalam hatinya, ia bertanya, “Apa gunanya semua ini?”
Namun, Aldo memiliki satu harapan yang membuatnya bertahan: ia ingin mencari penyintas lain. Dalam upayanya melawan kesepian, ia menghabiskan waktu untuk menulis di buku catatan yang telah menjadi sahabat setianya. Dia menggambarkan apa yang dia lihat, apa yang dia rasakan, dan semua harapannya tentang menemukan seseorang—siapa saja yang masih hidup.
Hari-hari berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Aldo terus menjelajahi kota, menarik setiap sudut dalam pencariannya. Suatu ketika saat menjelajahi perpustakaan yang rusak, ia menemukan sebuah buku catatan tua. Saat membukanya, ia melihat coretan tangkapan perasaan seseorang yang juga merasa sendirian, berusaha untuk mencari tahu apa yang telah terjadi kepada dunia.
Buku catatan itu bukan sekadar rekaman; itu adalah puisi, catatan lucu dan penuh harapan. Ada fragmen yang menyentuh tentang kehilangan dan kerinduan, yang menggambarkan keberanian untuk terus hidup meskipun dalam keadaan yang paling menyesakkan. Aldo merasakan sebuah ikatan yang kuat dengan penulis buku itu—seolah-olah mereka berdua berada dalam perjalanan yang sama meskipun terpisah oleh waktu.
Hari demi hari, Aldo semakin terobsesi dengan tulisan itu. Didorong oleh semangat untuk bertahan, ia mulai menuliskan balasan pada setiap halaman kosong di buku catatan, berharap bahwa suatu saat, penulis itu—mayoritasnya dalam pikirannya—akan menemukannya. Dia berbagi kisahnya, harapannya, dan ketakutannya, melepaskan beban di bahunya ke dalam lembaran kertas.
Aldo mulai menciptakan rutinitas baru. Setelah menulis, ia akan pergi mengumpulkan bahan makanan dan mengunjungi tempat-tempat yang menghadirkan kenangan indah. Terkadang ia duduk di tempat-tempat itu dan berharap semoga suatu hari ada seseorang yang duduk di sampingnya.
Hari-hari berlalu tanpa perubahan berarti, hingga suatu malam ketika Aldo mendengar suara. Suara itu samar, namun jelas. Hatinya berdebar. Ia berlari keluar dari apartemennya, langkahnya cepat menuju sumber suara. Di jendela gedung seberang, seberang jalan yang telah retak dan rusak, ia melihat siluet seorang wanita.
Bukan hanya itu; wanita itu terlihat hidup, bergerak, dan berusaha berteriak. Aldo berteriak kembali, “Siapa kamu?!”
Dengan cepat wanita itu menjawab, “Aku Tania! Apakah ada orang lain di sini?”
Sebuah harapan baru mengalir dalam diri Aldo. Mereka berdua akhirnya bertemu di tengah kesunyian dunia. Seperti dua bintang yang ditemukan di langit malam yang kelam, mereka saling menjaga satu sama lain. Dari percakapan itu, mereka membagikan cerita-cerita hidup mereka, keinginan, serta mimpi yang dengan penuh harapan masih dapat diwujudkan.
Aldo memberikan Tania buku catatan yang telah menjadi sarana untuk mengeluarkan semua perasaannya selama ini. Tania membacanya dengan teliti, tertegun dengan kutipan-kutipan yang ditulis Aldo. Dalam momen-momen manis itu, mereka menemukan kembali arti hidup. Kesunyian yang sebelumnya mengebiri mereka berdua berubah menjadi kebersamaan.
Seiring waktu, dua penyintas ini belajar untuk berbagi beban kehidupan, saling mendukung dalam menemukan jalan baru di dunia yang telah hancur. Mereka merencanakan perjalanan untuk menjelajahi tempat-tempat yang belum mereka datangi bersama. Bahkan dalam keterasingan yang mendalam, mereka menemukan ketulusan dan kemanusiaan yang selalu ada.
Meskipun dunia mereka dikelilingi oleh reruntuhan, Aldo dan Tania belajar bahwa cinta dan persahabatan adalah kekuatan yang dapat menghidupkan kembali harapan, tidak peduli seberapa kelamnya keadaan. Dan dengan itu, mereka akhirnya menyadari bahwa mereka bukanlah penyintas terakhir di Bumi. Di tengah kehampaan, mereka telah menemukan satu sama lain dan menggenggam harapan baru untuk masa depan.
### Gambar Deskripsi untuk Artikel:
Sebuah gambar yang menunjukkan Aldo dan Tania duduk di sebuah bangku tua di taman yang ditumbuhi rerumputan liar. Cahaya matahari senja berwarna oranye memancarkan kehangatan di wajah mereka, meskipun latar belakangnya adalah gedung-gedung hancur dan pohon-pohon rimbun yang mulai layu. Di antara mereka terdapat sebuah buku catatan terbuka, menggambarkan kata-kata penuh harapan yang menghubungkan dua penyintas yang berbeda menuju masa depan yang cerah.