Rift Kuantum
August 21, 2024
Di sebuah laboratorium terpencil yang terletak di pinggiran kota, sekelompok ilmuwan bekerja tanpa henti untuk memecahkan salah satu misteri paling membingungkan di alam semesta: dimensi paralel. Di antara mereka, ada Dr. Arya, seorang fisikawan muda brilian yang memiliki obsesif terhadap konsep ‘Rift Kuantum’. Dia percaya bahwa ada celah antara dimensi yang bisa dijelajahi, jika hanya mereka bisa menciptakannya.
Dr. Arya dan timnya, termasuk rekannya yang hemat, Dr. Malik, serta teknisi handal, Nia, telah bekerja selama bertahun-tahun untuk mengembangkan mesin kuantum yang mampu menciptakan rift tersebut. Akhirnya, malam itu, mereka bersiap untuk melakukan percobaan pertama.
“Apakah kalian siap?” tanya Arya, suaranya bergetar meski dia mencoba terlihat tenang.
“Selama kita tidak meledakkan lab ini, saya rasa kita siap,” jawab Nia, duduk di depan konsol, jarinya melayang di atas tombol-tombol kendali. Dr. Malik tersenyum, meski ada kegugupan di raut wajahnya.
“Jangan khawatir, kita sudah melakukan simulasi berkali-kali. Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah,” sahut Arya sambil mengatur posisi di depan mesin besar yang berkilau. Mesin itu terdiri dari banyak komponen dengan lampu berkedip dan suara berdengung, terlihat seperti sesuatu dari film fiksi ilmiah.
Mereka telah memperhitungkan setiap variabel. Energi yang diperlukan, keseimbangan medan kuantum, dan konfigurasi elektromagnetik. Semua terukur dengan presisi yang menghantui. Detak jantungnya terasa semakin kencang saat Arya menekan tombol merah besar. Mesin mulai berdengung, dan cahaya hijau cerah mulai menyelimuti ruangan.
Sekitar sepuluh detik, mereka melihat apa yang tampak seperti pembukaan di udara; sebuah celah bergetar dengan cahaya yang memikat. Ketiganya terdiam, tak percaya apa yang mereka saksikan. “Itu… Itu dia!” seru Arya, tak bisa menahan kegembiraannya.
Mereka mempersiapkan kamera untuk merekam momen bersejarah tersebut. Namun, saat mesin beroperasi, suara jeritan yang tajam tiba-tiba mengalun dari dalam celah—suara yang tak bisa mereka identifikasi. Suara itu memecah kesunyian momen berharga. Ketika mereka berpandangan penuh kebingungan, cahaya dari celah itu mulai bergetar lebih keras, seolah merespons keberadaan mereka.
“Apa yang terjadi?” tanya Malik, khawatir.
“Aku… aku tidak tahu. Harusnya ini semua aman,” jawab Arya dengan nada ragu. Tiba-tiba, celah itu bergetar dengan intensitas yang meningkat dan mengeluarkan seberkas cahaya ke arah mereka. Tanpa peringatan, cahaya itu melesat ke arah Arya.
Dengan sekejap, semuanya menjadi gelap.
Ketika Arya membuka matanya, dia mendapati dirinya tergeletak di atas rumput. Suara burung berkicau di kejauhan menghadirkan ketenangan yang mencolok. Suasana sama sekali berbeda. Dia mengamati sekeliling—sepertinya dia berada di taman yang luas, penuh warna-warni bunga dan pepohonan rimbun. Di kejauhan, ada pegunungan yang tinggi, dilapisi oleh salju di puncaknya.
“Apa ini? Di mana aku?” pikirnya, bingung. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tetapi ingatan itu terasa kabur. Secercah rasa panik mulai menghantui dirinya ketika menyadari bahwa tidak ada tanda-tanda Dr. Malik dan Nia di mana pun.
Ketika dia beranjak berdiri, dia merasa seakan ada yang mengawasinya. Perlahan, Arya berjalan, mencoba mencari jalan keluar dari tempat itu. Di depan, ia melihat sebuah kota kecil yang tidak asing, namun tidak pernah ditemukan di peta mana pun. Bangunannya terlihat modern, tetapi ada nuansa yang klasik dan alami.
Arya mulai berjalan ke arah kota, pikirannya berputar-putar tentang apa yang telah terjadi pada mereka. Rasa takut dan ketidakpastian mulai menyelimuti hatinya. Dia berharap bisa menemukan teman-temannya dan kembali ke lab.
Setiba di kota, Arya disambut oleh wajah-wajah penduduk yang terlihat ramah. Mereka memperhatikannya, tetapi tidak ada satu pun yang mendekatinya. Dia merasakan perasaan aneh di antara orang-orang yang tidak dikenalnya—seolah mereka sedang menilai dirinya, tetapi tidak dengan cara yang menakutkan.
Arya memutuskan untuk mendekati seorang wanita paruh baya yang duduk di bangku taman. “Permisi, Bu, saya… saya hilang. Saya tidak tahu di mana saya berada.” Suara Arya terdengar putus asa.
Wanita itu memandangnya dengan mata yang bijak. “Kau berada di Juaia, nak. Sebuah dimensi yang berbeda, hasil dari percobaan yang dilakukan di dunia asalmu.”
Jantung Arya terasa terhenti. “Dimensi yang berbeda? Kamu… Kamu tahu tentang eksperimen kami?”
“Banyak yang tahu, tetapi tidak semua bisa bertahan di sini. Hanya orang-orang terpilih yang bisa beradaptasi dengan realita baru,” kata wanita itu, entah dengan harapan atau keputusasaan.
“Dan teman-temanku? Mereka di mana?” Arya mendesak, rasa cemas melanda dirinya.
“Aku tidak tahu. Mereka mungkin saja terjerembab ke tempat lain. Setiap orang yang masuk ke rift bisa saja terlempar ke lokasi yang berbeda-beda,” jawab wanita itu dengan nada penuh simpati.
Arya merasa hancur. Dia telah melakukan semua ini untuk menemukan jawaban, tetapi sekarang terjebak di tempat yang tidak dia kenal. Dia mulai merindukan suara mekanis dari lab, tawa Nia, dan keributan Malik tentang teori kuantum.
“Bagaimana caranya kembali?” tanya Arya putus asa.
“Tidak ada yang tahu. Namun, beberapa yang selamat dari eksperimen untungnya menemukan cara untuk kembali. Mereka berharap dengan menjelajahi tempat ini, mereka bisa menemukan jalannya pulang,” kata wanita itu.
Arya merasa seolah dikhianati oleh waktu dan ruang. Ia harus melanjutkan, hanya satu arah untuk dilangkahi; ia harus berkelana di dimensi ini dan berharap untuk menemukan cara kembali.
“Terima kasih, Bu,” kata Arya sebelum meninggalkannya dengan langkah mantap. Ia mengawali pencariannya dengan harapan dan tekad baru. Di dalam ketidakpastian ini, Arya tahu bahwa dia tidak sendirian, semangat penjelajahan telah tumbuh di dalam dirinya.
Hari-hari berlalu, Arya menjelajahi Juaia, berbicara dengan penduduk, dan belajar tentang kehidupan mereka. Dia menemukan bagaimana mereka mengatur kehidupannya dengan harmoni dan teknologi yang berbeda, mengungkap potensi tersembunyi yang lebih dari sekadar alat. Dia semakin terinspirasi dan berpikir bahwa mungkin ada pelajaran penting di sini, sesuatu yang bisa membantunya bukan hanya untuk menemukan jalannya kembali, tetapi juga memahami kehidupan yang lebih dalam.
Di suatu ketika, saat dia berada di sebuah perpustakaan tua, Arya menemukan sebuah buku kuno yang menyimpan banyak pengetahuan tentang dimensi dan cara menjalin kembali celah yang pernah ada. “Mungkin ini harapanku,” pikirnya penuh harapan. Dia pun belajar dan berlatih, merangkai teori demi teori yang ia yakini dapat mengantarkannya kembali ke rumah.
Namun, saat kemajuan kecil tercapai, kerinduan untuk teman-temannya semakin mendalam. Dia sering kali memikirkan Dr. Malik dan Nia, bertanya-tanya apakah mereka selamat, dan di mana mereka sekarang. Dia belajar untuk tidak hanya mencari jalan pulang, tetapi juga untuk menemukan arti dari setiap momen yang ia jalani.
Suatu malam, saat dia sedang meneliti di laboratorium kecil yang dibangunnya sendiri, cahaya dari mesin rift kuantumnya mulai bersinar kembali. Arya menatapnya tidak percaya, apakah ini kesempatan kedua? Dia tahu bahwa itu bisa menjadi satu-satunya cara kembali, tetapi risiko tetap ada.
“Apakah aku siap? Apakah aku akan meninggalkan segalanya di sini?” pikirnya. Namun kemudian, lagu hati yang tak terlupakan itu membangkitkan semangatnya. Dia melangkah maju, bersiap menghadapi apa yang akan datang.
Ketika dia menekan tombol, suara bergetar kembali memenuhi ruangan. Cahaya bersinar intens, membawanya ke arah kegelapan. Dengan mata terpejam, dia mengingat wujud sahabatnya, harapan untuk bertemu kembali.
Ketika cahaya memudar dan segala keheningan pecah, Arya terbangun di halaman labnya, tepat di tempat dia sebelumnya terlempar. Dia menghabiskan waktu lama dengan mesin dan menyadari, bahwa dia tidak sedang sendiri. Dengan cepat, dia meraih alat komunikasi untuk berusaha menghubungi Malik dan Nia.
Percobaannya untuk menjelajahi dimensi tidak berujung di sini. Dia telah menemukan sesuatu yang lebih konteks daripada sekadar pengetahuan; dia mengenal nilai persahabatan, keberanian, dan pencarian makna. Dan Arya berjanji pada dirinya