Cahaya dalam Kabut – bab 4
August 23, 2024
Bab 4: Kebenaran yang Terungkap
Malam semakin larut saat Aditya terus berjalan, ditemani oleh cahaya biru yang memancar dari obor di tangannya. Kabut di sekelilingnya seakan hidup, bergerak perlahan seperti makhluk yang bernafas. Setiap langkah membawa Aditya lebih jauh dari desa, namun ia merasa semakin dekat dengan kebenaran yang selama ini ia cari. Pikiran Aditya dipenuhi oleh berbagai petunjuk yang telah ia temukan sejauh ini—buku kuno, pesan dari penjaga hutan, sosok dalam cermin, dan obor biru yang misterius. Namun, semua itu masih belum terhubung dengan jelas.
Hingga akhirnya, di tengah perjalanan, Aditya melihat sesuatu yang mengejutkannya. Di kejauhan, di tengah kabut yang tebal, ia melihat siluet bangunan besar, hampir seperti sebuah benteng yang tertinggal oleh waktu. Bangunan itu tampak kokoh, meski ditutupi oleh lumut dan tanaman liar. Dinding-dindingnya yang tinggi terlihat seperti telah menyaksikan banyak hal selama berabad-abad.
Merasa bahwa ini adalah tempat di mana ia mungkin menemukan lebih banyak jawaban, Aditya mempercepat langkahnya menuju bangunan tersebut. Ketika ia tiba di depan gerbang besar yang terbuat dari besi, Aditya merasakan getaran yang kuat di tanah, seperti sebelumnya. Gerbang itu tampak tidak berpenghuni, tetapi ada sesuatu yang menarik di sekitarnya—sebuah tanda di atas gerbang, dengan tulisan kuno yang mirip dengan yang ada di buku yang ia bawa.
Dengan rasa penasaran yang tinggi, Aditya mencoba mendorong gerbang itu. Gerbang tersebut berderit keras saat terbuka, memperlihatkan halaman dalam yang luas namun suram. Di tengah halaman itu, ada sebuah menara yang menjulang tinggi, dan di puncak menara tersebut ada sesuatu yang memancarkan cahaya samar. Aditya merasa bahwa tempat ini adalah pusat dari semua misteri yang menyelimuti desa dan kabut.
Tanpa ragu, Aditya melangkah masuk ke dalam halaman benteng tersebut. Tempat itu tampak ditinggalkan selama bertahun-tahun, dengan dedaunan kering yang berserakan di mana-mana dan pepohonan mati yang tumbuh liar. Namun, di tengah kesunyian itu, Aditya bisa merasakan energi aneh yang seakan memenuhi udara. Setiap langkahnya terasa lebih berat, seolah-olah tempat ini menolak kehadirannya.
Aditya akhirnya mencapai pintu masuk menara dan mendorongnya dengan pelan. Pintu itu terbuka dengan mudah, memperlihatkan tangga melingkar yang menuju ke atas. Cahaya biru dari obor yang ia bawa menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding batu yang lembab dan retak. Dengan napas tertahan, Aditya mulai menaiki tangga tersebut, langkah demi langkah, semakin mendekati puncak menara.
Ketika Aditya mencapai puncak menara, ia menemukan sebuah ruangan kecil yang penuh dengan benda-benda kuno—lukisan pudar, patung-patung kecil, dan meja kayu dengan gulungan-gulungan kertas yang sudah menguning. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah cermin besar yang tergantung di dinding, mirip dengan cermin yang ia temui di bukit sebelumnya.
Cermin ini, bagaimanapun, tampak lebih hidup. Permukaannya berpendar dengan cahaya yang berubah-ubah, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Aditya mendekati cermin tersebut dengan hati-hati, dan saat ia berdiri di depannya, cermin itu mulai menunjukkan gambaran-gambaran yang tidak ia harapkan.
Di dalam cermin, Aditya melihat desa Sumiring, tapi bukan dalam keadaan yang ia kenal. Desa itu tampak hancur, dengan bangunan-bangunan yang terbakar dan tanah yang tertutup oleh kabut tebal berwarna merah darah. Orang-orang di desa tampak ketakutan, berlari-lari tanpa arah, dikejar oleh bayangan-bayangan gelap yang mengerikan. Gambaran itu begitu nyata sehingga Aditya merasa seperti sedang berdiri di tengah kehancuran tersebut.
Tiba-tiba, sosok yang pernah muncul di cermin di bukit kembali muncul di samping Aditya, tetapi kali ini lebih jelas. Sosok itu tampak seperti manusia, namun wajahnya dipenuhi oleh bekas luka dan matanya bersinar dengan cahaya biru yang sama seperti obor di tangan Aditya. Sosok itu menatap Aditya dengan tajam dan berbicara dengan suara yang dalam, “Inilah masa depan yang akan terjadi jika kau gagal, Aditya. Desa Sumiring dan semua yang kau kenal akan hancur, ditelan oleh kegelapan.”
Aditya merasakan ketakutan yang luar biasa. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya dengan suara gemetar.
Sosok itu menjawab, “Kau harus menemukan sumber dari cahaya ini dan menjaga agar tidak padam. Hanya dengan menjaga keseimbangan antara cahaya dan kegelapan, dunia ini bisa diselamatkan. Benteng ini adalah tempat di mana semuanya dimulai, dan di sini juga semuanya bisa berakhir. Di balik cermin ini, ada portal menuju tempat di mana kebenaran tersembunyi. Tapi ingat, perjalanan ini berbahaya, dan banyak yang telah gagal sebelum kau.”
Dengan kata-kata itu, sosok tersebut menghilang, meninggalkan Aditya sendirian di dalam ruangan itu. Cermin di depannya mulai bergetar, dan permukaannya berubah menjadi seperti air yang beriak. Aditya tahu bahwa ini adalah portal yang disebutkan oleh sosok tadi, dan ia harus melaluinya untuk menemukan kebenaran.
Dengan tekad yang kuat, Aditya menggenggam erat obor birunya dan melangkah ke dalam cermin. Sensasi dingin menyelimutinya saat ia melewati permukaan cermin, dan seketika itu juga, ia merasa seperti ditarik ke dalam pusaran yang berputar cepat. Dunia di sekitarnya berubah menjadi bayangan-bayangan kabur, dan Aditya merasa seperti melayang tanpa arah.
Ketika Aditya akhirnya bisa merasakan tanah di bawah kakinya lagi, ia menemukan dirinya berada di tempat yang berbeda—sebuah gua besar dengan dinding-dinding yang memancarkan cahaya aneh. Gua itu dipenuhi oleh kristal-kristal yang bersinar dalam berbagai warna, menciptakan pemandangan yang indah namun aneh. Di tengah gua, ada sebuah altar batu lain, namun kali ini altar itu tampak lebih besar dan lebih megah. Di atas altar tersebut, terdapat sebuah benda yang berpendar dengan cahaya biru terang, mirip dengan cahaya yang ada di dalam obor Aditya.
Aditya berjalan mendekati altar tersebut, merasa bahwa benda itu adalah sumber dari segala cahaya yang ia lihat selama ini. Ketika ia berdiri di depan altar, cahaya biru dari benda itu semakin terang, hampir menyilaukan. Namun, ketika Aditya hendak mengambil benda itu, suara gemuruh besar terdengar dari dalam gua, dan tiba-tiba, makhluk-makhluk gelap yang sebelumnya ia temui muncul dari bayangan gua, lebih besar dan lebih mengerikan dari sebelumnya.
Makhluk-makhluk itu mengelilingi Aditya, matanya bersinar merah, siap menyerang kapan saja. Aditya merasakan ketakutan yang luar biasa, namun ia juga tahu bahwa ini adalah ujian terakhir. Dengan obor biru di tangannya, Aditya menyiapkan diri untuk menghadapi makhluk-makhluk itu.
Pertarungan itu berlangsung sengit. Makhluk-makhluk itu menyerang dengan cepat, namun Aditya menggunakan obor birunya untuk menghalau mereka. Setiap kali obor itu menyala, makhluk-makhluk itu mundur, tapi mereka tidak pernah menyerah. Aditya berjuang sekuat tenaga, namun jumlah mereka terlalu banyak. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menang hanya dengan bertahan.
Ketika Aditya hampir kehilangan harapan, ia teringat pada kata-kata sosok di cermin: “Kau harus menjaga agar cahaya itu tidak padam.” Aditya menyadari bahwa untuk menyelamatkan dunia ini, ia tidak hanya harus melawan kegelapan, tapi juga harus memperkuat cahaya.
Dengan tekad baru, Aditya berlari menuju altar, mengabaikan makhluk-makhluk yang mencoba menghalangi jalannya. Ia meraih benda bercahaya di atas altar itu—sebuah kristal besar yang memancarkan cahaya biru yang sama seperti obor di tangannya. Saat ia menyentuh kristal itu, sebuah kekuatan besar mengalir ke dalam dirinya, dan obor di tangannya menyala lebih terang dari sebelumnya.
Aditya mengangkat obor tersebut tinggi-tinggi, dan seketika, cahaya biru itu menyebar ke seluruh gua, mengusir kegelapan dan makhluk-makhluk yang menyerang. Makhluk-makhluk itu berteriak kesakitan sebelum akhirnya menghilang menjadi debu, dan gua itu kembali tenang.
Dengan napas tersengal, Aditya berdiri di tengah gua yang kini dipenuhi cahaya biru yang menenangkan. Kristal di tangannya berkilau terang, dan Aditya merasa bahwa ia telah menemukan kunci untuk menjaga keseimbangan antara cahaya dan kegelapan.
Aditya tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Meskipun ia telah mengalahkan makhluk-makhluk gelap, kegelapan
masih ada di luar sana, menunggu saat yang tepat untuk kembali. Dengan kristal di tangannya dan obor biru sebagai penuntun, Aditya bersiap untuk kembali ke desa dan melanjutkan perjuangannya.
Perjalanannya mungkin masih panjang, namun Aditya kini tahu bahwa ia memiliki kekuatan untuk melawan kegelapan dan menjaga agar cahaya tidak pernah padam. Dengan tekad yang kuat dan hati yang penuh harapan, Aditya melangkah keluar dari gua, menuju masa depan yang masih penuh dengan misteri. Namun, ia tidak lagi takut, karena kini ia adalah penjaga cahaya yang akan melindungi dunia dari kegelapan.