ID Times

situs berita dan bacaan harian

Roh yang Menari di Lava Cair

Di ujung pulau Makka, terhampar sebuah gunung berapi yang selama berabad-abad menjadi legenda. Gunung yang disebut Bukit Merah ini terkenal akan aktivitas vulkaniknya yang tiada henti. Banyak yang mencemooh tentang kehidupan roh di antara perut bumi, tetapi bagi penduduk setempat, cerita tentang roh yang menari di lava cair adalah sesuatu yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Di tengah kesibukan desa yang terletak tidak jauh dari kaki Bukit Merah, Dian, seorang gadis berusia enam belas tahun, mendengar cerita tentang roh itu dari neneknya setiap malam. “Roh itu adalah penjaga api, nak. Ia menari di lava untuk menjaga keseimbangan alam dan melindungi kita,” ujarnya dengan suara bergetar penuh misteri.

Dian sangat tertarik dengan cerita neneknya. Namun, ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya. Jika roh itu nyata, mengapa ia belum pernah melihatnya? Mimpinya dipenuhi dengan bayangan warna-warni api menari, tetapi saat terbangun, semua itu sirna.

Suatu malam, saat bulan purnama bersinar terang, Dian memutuskan untuk pergi ke lereng gunung. Ia bertekad melihat sendiri apakah roh itu benar-benar ada. Tanpa memberitahu siapa pun, ia membawa sebuah senter, sebotol air, dan sepotong roti. Dengan hati berdebar, ia melangkah menuju kegelapan yang membungkus Bukit Merah.

Langkah demi langkah, Dian merasakan udara menjadi lebih hangat. Gnash, suara deru yang berasal dari dalam bumi, membangkitkan rasa takut sekaligus rasa ingin tahunya. Sementara ia mendaki, cahaya bulan menerangi jalan setapaknya. Jarak semakin dekat dengan kawah yang dikenal sebagai tempat roh menari. Panas dari magma di dalam perut bumi terasa semakin dekat, seolah memanggilnya untuk datang lebih dekat.

“Tapi, apakah aku berani?” tanya Dian kepada dirinya sendiri, tapi niatnya sudah bulat. Dia terus melangkah, tidak peduli pada rasa takut yang menyelimutinya.

Setelah beberapa waktu, Dian tiba di tepi kawah. Ia melihat lava cair berkilauan seperti lautan api. Suara gemuruh dari dalam bumi menggema memenuhi udara malam yang sepi. Seakan segala hal di sekelilingnya memudar, ia terfokus pada cairan yang panas itu. Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka, ia melihat sosok mirip manusia menyelusuri aliran lava.

Dian terbelalak menyaksikan keanggunan roh itu. Dibalut cahaya api, raganya tampak bergerak dengan lincah, seperti tarian yang penuh pesona. Roh itu tak memiliki wajah yang jelas, hanya cahaya dan kilatan yang berputar, membentuk pola yang menakjubkan di atas lava. Lalu, tiba-tiba, sorotan dari sosok itu menuju Dian, seolah ia mengerti kehadirannya.

Dian terpesona, tidak kuasa berpaling. Hanya sanggup menatap, menyaksikan tarian yang melawan batasan waktu ini. Sontak, ia tertangkap dalam irama tari tersebut. Dalam kepanikan, ia melangkah mundur tetapi entah mengapa hati dan pikirannya merasa terikat. Ia merasa dipanggil untuk lebih dekat.

Roh itu melanjutkan tariannya, dan lava di sekitarnya seperti mengikuti setiap gerakan, seolah menari bersamanya. Dalam sekejap, Dian merasa seolah dibawa masuk ke dalam dunia api. Berbagai warna menyelimuti penglihatannya; merah, oranye, kuning, dan pijar menyala yang membuat semuanya terlihat hidup.

“Mengapa kau datang, wahai gadis berani?” suara lembut bergema di telinga Dian, tidak seperti suara manusia biasa, lebih seperti suara hatinya sendiri.

“Aku… aku ingin melihatmu,” jawab Dian, meski suara itu hanya meluncur tanpa ragu. Ia merasa berani mengungkapkan keinginannya. “Nenekku bercerita tentangmu.”

“Lupakan cerita yang menakutkan. Aku ada di sini untuk menjaga keseimbangan. Aku adalah penari api, dan jiwa-jiwa yang benar-benar menghargai keindahan dan kekuatan api akan selalu bisa menemukan aku,” jawab roh itu sambil menari lebih lincah.

Dian terpesona. “Tapi, kenapa orang-orang merasa takut? Bukankah ini indah?”

“Ketakutan adalah cara manusia untuk melindungi diri, walau kadang hal itu membuat mereka buta terhadap keindahan. Api tidak hanya seburuk yang mereka kira. Ia bisa memberi hidup, menerangi kegelapan, dan juga menghancurkan,” kata roh itu, seakan memberi pelajaran yang hakiki.

Dian merasa ada ikatan yang terjalin antara dirinya dan roh yang menari di lava cair. Ia merasakan energi yang mengalir di sekitarnya, membuat jiwanya bergetar. “Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?” tanyanya bersemangat.

Roh itu berhenti sejenak dan menyaksikannya dengan tatapan tajam. “Bantu aku mengingatkan orang-orang bahwa tidak ada keindahan tanpa bahaya. Ajak mereka untuk tidak terus bersembunyi di balik ketakutan mereka. Api adalah dua sisi, dan setiap tarian mengisahkan cerita.”

Dian mengangguk, tak ingin kehilangan kesempatan ini. Ia mengerti bahwa apa yang diberikan roh itu bukan sekadar permintaan, tetapi sebuah tanggung jawab. Ia ingin menyebarkan cerita indah tentang tarian di lava, untuk menghapus ketakutan, dan mengajak orang-orang merasakan keajaiban yang ada.

Setelah berbincang, roh itu melanjutkan tariannya. Dian terpesona menontonnya, sambil menyadari bahwa setiap gerakan menyampaikan pesan yang dalam. Pertunjukan itu memperlihatkan indahnya saat api melahap, lalu memberikan kembali kehidupan melalui abu yang melahirkan kesuburan.

Akhirnya, saat matahari mulai terbit, cahaya keemasan memasuki area kawah. Roh itu mengambil langkah terakhirnya, menyebar warna-warna api ke seluruh udara, sebelum menghilang ke dalam lava yang menggelegak. Sebuah pelajaran tersimpan di dalam hati Dian, terukir abadi.

Dengan semangat baru, Dian kembali ke desa. Ia dapat merasakan tugas yang siap dijalani. Ketika ia menceritakan sorotan pengalaman kepada penduduk, beberapa skeptis, beberapa lain terpesona. Namun, satu hal yang pasti, cerita itu mulai menyebar dan membangkitkan rasa ingin tahu di hati banyak orang.

Dian tetap berkunjung ke kawah setiap bulan purnama, menunggu saat ketika roh itu kembali. Setiap kali ia melihat tarian api, ia semakin mengerti bahwa keindahan dan ketakutan berjalan beriringan. Ia menjadi penjaga cerita, berbagi dengan generasi berikutnya, agar mereka ingat bahwa menari di lava tidak hanya sekadar melihat api, tetapi memahami jiwa yang bersinar di dalamnya.

Dengan waktu, desa Makka mulai mengubah pandangannya. Festival diadakan, mengundang orang dari jauh untuk menyaksikan pertunjukan tari api yang menggugah. Setiap tarian yang Dian buat sebagai penghormatan terhadap roh itu membuat semuanya ingat—bahwa keindahan ada di dalam diri, dan tidak ada yang perlu ditakuti jika kita bisa melihat dengan hati.

Kini, setiap malam saat matahari terbenam, orang-orang desa berkumpul di kaki Bukit Merah, bersenandung nyanyian tentang roh yang menari. Dian, dengan senyum lebar dan mata berbinar, merasa bangga melanjutkan warisan yang dimulai oleh neneknya. Kehidupan di sana kini lebih berwarna, seolah nafas baru menyelimuti mereka, mendorong mereka untuk berani merayakan bukan hanya hidup, tetapi juga api yang menyala dalam jiwa mereka.

**Gambaran gambar untuk artikel:**

Sebuah gambaran menakjubkan seorang gadis muda, Dian, berdiri di tepi kawah gunung berapi pada malam bulan purnama. Di depannya, lava cair berkilauan berwarna merah, oranye, dan kuning, membentuk pola menyerupai tarian. Dari aliran lava, tampak sosok roh yang bersinar, berputar dan menari dengan anggun, dikelilingi cahaya yang cerah. Latar belakang menampilkan langit berbintang dengan bulan yang purnama, menciptakan suasana magis dan misterius. Di kaki gunung berapi, bayangan siluet orang-orang desa sedang menonton, menciptakan suasana kebersamaan dan keajaiban.

**Roh yang Menari di Lava Cair**

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *