ID Times

situs berita dan bacaan harian

Roh yang Menyusuri Lorong Bawah Tanah

Di bawah kota tua yang penuh nubuat, terhampar jaringan lorong bawah tanah yang sudah lama dilupakan. Suara gemuruh kendaraan di atas permukaan tidak mampu menembus dinding tebal batu bata berlumut, di mana cahaya matahari tak pernah menyentuh. Lorong-lorong ini menyimpan kisah yang terpendam dan rahasia yang tersimpan rapi, namun satu jiwa, satu roh, tinggal di dalamnya, mengikuti jejak waktu yang tak terhapuskan.

Roh itu merupakan penjelajah yang setia, bernama Aira. Ia dulunya adalah seorang arkeolog yang menghabiskan seluruh hidupnya mencari tahu sejarah kota tersebut. Aira tewas dalam sebuah kecelakaan yang tragis saat ia sedang menggali di salah satu lombong tua. Namun, jiwa Aira tidak pergi; sebaliknya, ia terjebak di ruang bawah tanah, menyusuri lorong-lorong yang gelap dan berliku, menanti seseorang untuk mendengarkan ceritanya.

Suatu malam, di tengah hujan deras, seorang pemuda bernama Bima yang mendambakan petualangan, tanpa sengaja menemukan pintu masuk salah satu lorong tersebut. Rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takut yang ada dalam benaknya. Dengan cahaya senter yang benderang, ia melangkahkan kaki ke dalam lorong yang gelap. Suara titisan air menambah suasana mencekam dan misterius. Sebuah perasaan aneh mendorongnya untuk meneruskan langkah.

Lorong itu dipenuhi oleh lumut dan bau tanah basah. Satu per satu, Bima menyusuri dinding yang berlumut, memperhatikan ukiran kuno yang tergores di sana. Ukiran tersebut terlihat seolah menggambarkan ritual kuno yang pernah terjadi di sana. Bima merasa seolah kekuatan tak terlihat mengarahkannya lebih dalam ke dalam kegelapan.

Menghampiri sebuah ruangan besar, Bima merasakan hawa dingin yang menusuk. Di tengah ruangan itu terdapat altar tua yang dikelilingi oleh pilaster batu yang tingginya menjulang, seakan mendukung langit-langit yang hampa. Di altar tersebut tergeletak serpihan-serpihan benda purba; pecahan-pecahan tembikar dan beberapa artefak yang hilang diingatannya. Namun, tatapannya tertuju pada bayang-bayang samar di ujung sana.

“Ada siapa di sana?” tanya Bima tanpa sengaja, suaranya berdengung dalam keheningan.

Roh Aira, yang telah menyaksikan ribuan pelancong dan petualangan hingga saat ini, merasa seolah ada harapan baru ketika mendengar suara pemuda itu. Ia mengangkat satu jari telunjuknya, menciptakan cahaya lembut yang perlahan menerangi sudut ruangan. Bayangan samar itu mulai tampak lebih jelas, memperlihatkan sosok Aira dengan gaun putih panjang, rambut panjang yang terurai, dan wajah yang penuh kesedihan.

“Siapa kau?” tanya Aira, suaranya lembut namun tetap terketuk oleh kesedihan abad yang menanti.

“Aku Bima. Aku hanya seorang pemuda yang suka berpetualang. Apa yang terjadi di sini?” jawab Bima, rasanya jantungnya hampir berhenti berdegup melihat sosok tersebut.

“Itu kisah yang panjang,” Aira menghela napas, “aku terjebak di sini selama bertahun-tahun, terpisah dari dunia yang kukenal. Semua karena aku terlalu terobsesi dengan sejarah dan tak hati-hati saat menggali pengetahuan yang tersembunyi. Sekarang, aku menjadi penjaga rahasia yang tak dapat kuperoleh kembali.”

Bima mendekat, rasa ingin tahunya semakin membara. “Bisa kau ceritakan padaku? Mungkin aku bisa membantu.”

Aira tersenyum tipis, matanya memancarkan harapan yang lama hilang. “Kamu mungkin bisa membebaskanku jika kamu mau mengumpulkan potongan-potongan cerita yang tersisa di sini. Tempat ini dipenuhi dengan kenangan, dan aku ingin kamu menyaksikan semuanya.”

Tanpa berpikir panjang, Bima mengikuti permintaan Aira. Mereka mulai menjelajahi lorong-lorong yang mengelilingi kompleks bawah tanah tersebut. Bima dan Aira menemukan lukisan dinding yang menggambarkan peristiwa sejarah, dari kerajaan yang pernah berdiri hingga bencana yang membawa kehancuran. Setiap lukisan memunculkan cerita yang berbeda, dan Bima mencatatnya, berusaha mengingat setiap detail.

Saat malam berganti siang, Bima dan Aira bergerak lebih dalam ke dalam lorong-lorong yang semakin rumit. Di salah satu sudut, mereka menemukan ruangan yang dipenuhi dengan patung dan barang-barang kuno. Dulu, menurut Aira, tempat tersebut merupakan pusat kegiatan ritual untuk meminta berkah dari para dewa.

“Setiap patung ini memiliki ceritanya sendiri,” jelas Aira, “sama seperti kita.”

Namun, ketika mereka mulai mempelajari patung-patung tersebut, tiba-tiba ruangan terasa bergetar, dan cahaya lilin yang terpasang bergetar. Bima merasakan ketegangan di udara. Dari kejauhan, terdengar bisikan halus, suara-suara gelisah seakan memanggil mereka untuk pergi.

“Roh-roh yang terperangkap,” bisik Aira, “mereka tidak mau kenangan yang terlupakan. Kita harus cepat!”

Dengan sepenuh hati, Bima berlari mengikuti Aira, memburu lorong-lorong yang semakin rumit. Dalam beberapa momen penuh ketegangan, mereka mencapai ujung dari pembangunan bawah tanah itu, di mana terdapat sebuah pintu besi tua yang tertutup.

“Di balik pintu itu ada keluargaku dan semua orang yang merekam kisahku,” Aira berseru, matanya berbinar penuh harap.

Bima menghela napas sebelum meraih gagang pintu. “Jika aku membuka pintu ini, apakah itu akan membebaskanmu?” tanyanya.

Aira mengangguk. “Kamu harus siap menerima kenyataan. Rahasia tidak selalu mudah diterima.”

Dengan satu dorongan penuh percaya diri, Bima akhirnya membuka pintu besi itu. Cahaya keemasan menyirami seisi ruangan, menciptakan suasana sakral bercampur haru. Di dalam, berjejer foto-foto dan catatan yang dibingkai rapi oleh keluarga Aira, semua tertulis dengan tinta tua. Namun mereka bukan manusia lagi, hanya bayangan yang penantian dalam waktu.

“Aku ingin berterima kasih padamu, Bima. Melalui cerita, aku bisa memahami bahwa jasadku mungkin sudah hilang, tetapi warisanku akan terus hidup,” kata Aira sambil melangkah mendekati foto-fotonya.

Dengan meneteskan air mata, Bima merasa terhubung dengan Aira lebih dari sekedar roh. “Kau tidak sendirian. Aku akan menyebarkan kisahmu, memastikan orang-orang ingat akan pengorbananmu.”

Saat Bima berjanji, sosok Aira berangsur memudar, senyumnya terus bersemayam di wajahnya. “Terima kasih, Bima. Ini adalah akhir dari perjalanan panjangku.”

Seolah angin berbisik lembut, Aira lenyap di hadapan matanya, namun kenangan dan kisah yang ia tinggalkan akan terus abadi. Bima kembali ke permukaan, bersemangat membawa cerita Aira untuk dibagikan kepada dunia, mengingatkan orang-orang akan pentingnya mengenang dan melestarikan sejarah, serta keberanian untuk menghadapi masa lalu.

Di tempat itu, lorong-lorong bawah tanah berbisik bukan lagi hanya kisah-kisah terpendam, melainkan cerita tentang persahabatan, pengorbanan, dan harapan yang akan terus ada, selamanya.

**Deskripsi Gambar untuk Artikel:**
Sebuah gambaran gelap dan misterius dari lorong bawah tanah yang terbuat dari batu bata tua. Beberapa bagian dinding dipenuhi oleh lumut hijau tua. Di tengah lorong, terdapat sosok perempuan dengan gaun putih panjang yang bercahaya lembut, menciptakan suasana yang magis. Di sisi lain, sebuah pemuda berdiri dengan senter, terlihat terpesona dan sedikit ketakutan, menghadap roh perempuan tersebut. Cahaya lembut dari sosok perempuan menciptakan kontras yang mencolok di tengah kegelapan yang menyelimuti lorong.

**Roh yang Menyusuri Lorong Bawah Tanah**

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *