ID Times

situs berita dan bacaan harian

Makhluk yang Menelusuri Lintasan Gelap

Di sebuah desa yang tersembunyi di antara pegunungan tinggi, terdapat legenda yang diceritakan dari generasi ke generasi. Legenda itu mengisahkan tentang makhluk misterius yang disebut “Ghalim”, yang konon berkeliaran di malam hari, menelusuri lintasan gelap di antara pepohonan rimbun dan lekukan tanah yang berliku. Desa tersebut, yang bernama Tengkuyung, dikenal karena keindahan alamnya yang memesona, tetapi juga karena kegelapan yang menyelimuti malam harinya.

Di Tengkuyung, warga desa sering kali merasa terawang dengan suara rintik hujan malam dan angin yang berbisik lembut. Namun, saat malam menjelang, ketakutan mulai merayap. Mereka mengunci pintu rumah, menyalakan lampu, dan berkumpul di depan perapian. Mereka bercerita tentang Ghalim—makhluk yang memiliki banyak misteri dan kisah menakutkan.

Menurut cerita, Ghalim adalah sosok tinggi besar, dengan kulit berwarna kelabu kehijauan yang mirip dengan lumut. Matanya berpendar seperti kunang-kunang, dan sering kali ia terlihat seakan-akan melayang di antara pepohonan gelap. Setiap kali seseorang melihat sosoknya, hal itu selalu diikuti oleh hilangnya sesuatu dari desa, seperti hewan ternak atau barang-barang berharga.

Suatu malam, seorang pemuda bernama Elang merasa penasaran dengan legenda tersebut. Elang adalah anak satu-satunya dari keluarga pembuat kerajinan tangan yang terkenal di desa. Ia memiliki rasa ingin tahu yang besar dan ingin membuktikan kebenaran tentang Ghalim. Dengan tekad yang kuat, ia dengan berani melangkahkan kaki keluar dari rumahnya, menyusuri jalan setapak menuju hutan Hujan yang lebat.

Hutan itu sangat berbeda ketika langit mulai gelap. Bayangan pepohonan merangkul satu sama lain, menciptakan suasana yang hampir menakutkan. Namun, keberanian Elang tidak pudar. Ia membawa serta lampu senter dan beberapa perbekalan, berharap dapat menjangkau titik tengah hutan tanpa menemui makhluk tersebut.
Seiring ia melangkah lebih dalam, suara alam di sekelilingnya seolah-olah ikut meredup. Jika biasanya suara binatang malam menggema, kini hutan menyimpan keheningan yang mencekam. Hanya deru napas Elang dan bunyi sepatunya menyentuh dedaunan kering yang terdengar.

Setelah berjam-jam menempuh perjalanan, Elang sampai di sebuah area yang tidak dikenal olehnya sebelumnya. Ada sebuah danau kecil dengan air yang tenang, memantulkan cahaya bulan purnama yang bersinar cerah. Ia duduk di tepi danau, merasakan ketenangan yang ragu melingkupi hatinya. Namun, tidak lama kemudian, suasana pendamaian itu terpecahkan oleh suara gemericik air.

Elang menoleh ke arah suara itu dan melihat sesuatu yang membuatnya merinding. Dari balik semak belukar, perlahan muncul sosok tinggi dengan tatapan tajam. Matanya berkilau dalam gelap, seperti batu permata yang terjebak dalam cahaya bulan. Elang menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa takut yang menyergapnya.

“Mengapa kau datang ke lintasan gelap ini?” suara Ghalim, begitu rendah dan dalam, memecah keheningan malam. Elang tak mampu menjawab, rasa takutnya mengganggu kata-kata yang ingin ia ucapkan.

“Apa yang kau cari?” Ghalim melanjutkan, melangkah perlahan ke arah Elang. “Kau tidak seharusnya berada di sini.”

Dengan segenap keberanian yang tersisa, Elang mengangkat kepalanya dan berkata, “Aku ingin tahu. Apakah benar kau adalah makhluk yang menakutkan seperti dalam cerita?”

“Aku tidak seperti yang diceritakan. Semua itu hanyalah asumsi manusia,” jawab Ghalim sambil mendekat semakin dekat, hingga suara detak jantung Elang dapat ia dengar. “Aku melindungi rasa kegelapan ini. Banyak yang tidak memahami kekuatan dalam kegelapan; mereka hanya melihat ketakutan.”

“Melindungi? Dari apa?” tanya Elang, rasa ingin tahunya mengalahkan rasa ketakutannya.

“Dari keinginan yang berlebihan, dari keserakahan yang merusak,” jawab Ghalim. “Banyak yang datang kemari dengan niat buruk, mengambil sesuatu yang bukan milik mereka.”

Elang mulai memahami bahwa Ghalim bukanlah makhluk menyeramkan yang dipikirkan banyak orang. Ia adalah penjaga, makhluk yang berfungsi untuk melindungi hutan dan tanah dari manusia yang tidak hormat terhadap alam. Namun, satu hal yang menjadi beban di benaknya adalah kenapa dia harus ditakuti.

“Jika begitu, mengapa kau membiarkan orang-orang percaya padamu sebagai makhluk yang menakutkan?” tanya Elang.

Ghalim terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan pertanyaan itu. “Takut adalah cara bagi mereka untuk menghormati hal-hal yang tidak mereka mengerti. Namun, dalam ketakutan, mereka juga kehilangan kesempatan untuk melihat sisi lain dari kehidupan—yang bisa jadi lebih indah.”

Elang merenungkan kata-kata itu. Dalam keheningan malam, ia merasa adanya kedamaian. Ia menggelengkan kepala, seakan-akan mengusir segala ketakutan yang ada. “Semoga rakyat desa Tengkuyung dapat melihat apa yang kulihat malam ini. Semoga mereka mengerti.”

“Dan kau akan membawa pesan ini?” Ghalim bertanya.

“Aku akan berusaha,” jawab Elang mantap. “Mungkin dengan mendengarkan cerita dari kedua belah pihak, kita bisa mencapai pemahaman.”

Ghalim tersenyum tipis, dan dengan lembut berkata, “Ketahuilah, Elang, perjalananmu menuju pemahaman adalah sebuah lintasan. Hasil akhir mungkin tidak selalu seperti yang kau inginkan, tetapi niat baik akan membawa hasil yang lebih baik.”

Elang merasa seolah sebuah beban berat terangkat dari pundaknya. Ia berjanji pada Ghalim untuk menceritakan kisah sebenarnya tentang makhluk yang menelusuri lintasan gelap. Setelah berbincang lama dan membagi pandangan, Elang berpamitan untuk pulang.

Di perjalanan pulang, suasana hutan terasa berbeda. Setiap suara yang biasa terdengar menakutkan kini menjadi harmonis. Elang merasakan seolah jalan pulang lebih jelas, dan tamparan angin malam seolah menjadi pengingat akan pertemuannya dengan Ghalim. Ia tiba di desanya saat fajar menjelang, dengan tekad untuk membawa perubahan bagi pandangan masyarakat terhadap makhluk yang dianggap menakutkan itu.

Beberapa minggu kemudian, cerita Elang tersebar. Dia menceritakan pertemuan dan pesan dari Ghalim kepada para tetua desa. Awalnya, mereka skeptis, tetapi perlahan-lahan, cerita Elang mulai mengubah cara pandang mereka. Masyarakat mulai meruntuhkan ketakutan yang telah mengakar dan membantu menjaga kekayaan alam yang melindungi mereka.

Kegelapan yang sebelumnya ditakuti, kini dianggap sebagai teman. Ghalim pun tidak lagi menjadi sosok yang menakutkan, melainkan simbol harapan dan perlindungan. Desa Tengkuyung bertumbuh, tidak hanya sebagai tempat tinggal tapi juga sebagai benteng yang harmonis antara manusia dan alam.

Sejak saat itu, Ghalim menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, bukan hanya dalam cerita, tetapi dalam hati dan tindakan. Ketakutan berubah menjadi rasa hormat dan kerjasama, sebuah pelajaran berharga tentang memahami dan menghargai keberadaan makhluk lain, baik yang terlihat maupun yang tidak.

#### Deskripsi Gambar untuk Artikel
Gambar ini menampilkan pemandangan malam di hutan, dengan cahaya bulan purnama yang bersinar cerah, memantulkan air danau kecil yang tenang di tengah hutan lebat. Di latar belakang, terdapat sosok tinggi dan misterius dengan kulit berwarna gelap dan mata berkilau, tampak seperti Ghalim yang sedang tenang berada dekat tepi danau. Beberapa bintang bersinar di langit, mempertegas suasana magis dan misterius dari cerita yang ditawarkan.

### Makhluk yang Menelusuri Lintasan Gelap

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *