ID Times

situs berita dan bacaan harian

Penjaga di Dimensi Gelap

Di balik kabut tebal dan malam yang tak berujung, terdapat sebuah dunia lain yang tak terukur oleh waktu atau ruang. Dimensi Gelap, demikian tempat ini dikenal, tersimpan dalam bayang-bayang antara kenyataan dan mimpi. Di dalamnya mengalir energi yang tak terlihat, menunggu untuk dibangkitkan oleh jiwa-jiwa yang berani menyelam ke dalamnya. Namun, tak semua yang masuk ke dimensi ini kembali, karena di sana ada seorang penjaga, sosok misterius yang menjaga batas antara dunia manusia dan kegelapan.

Namanya Azura. Dengan rambut hitam legam yang mengalir hingga pinggang dan mata berwarna violet yang menyala, ia adalah makhluk yang lahir dari kegelapan itu sendiri. Pakaian panjangnya berwarna hitam, menjadikannya tampak seperti bayangan yang bergerak di antara cahaya dan gelap. Azura bukanlah sosok yang hanya menjaga portal ke Dimensi Gelap; ia adalah penguasa di sana, mengendalikan arus yang melawan hukum alam. Ia tahu betapa berbahayanya untuk memasuki dimensi ini, dan karenanya, ia selamanya dipasrahi untuk melindungi rahasia yang tersimpan di dalamnya.

Setiap malam, Azura menjaga perbatasan dimensi itu agar tidak dimasuki oleh tangan-tangan yang salah. Dia sering mendengar bisikan suara dari para pelanggar yang terjebak dalam keinginan dan ketakutan akan hidup mereka. Suara-suara ini terombang-ambing dalam angin, memikat jiwa-jiwa yang lemah. Namun, Azura selalu mampu membedakan antara jiwa yang tulus dan mereka yang ingin memanfaatkan kegelapan itu.

Suatu malam, saat kabut semakin tebal dan bintang-bintang tampak samar di langit, Azura merasakan kehadiran yang tidak biasa. Ada seseorang yang mendekat, dan getaran aura mereka menandakan sesuatu yang berbeda. Ia mengangkat kepala, memandang jauh ke arah portal yang berkilau dalam remang-remang malam. Sosok itu melangkah keluar dari kabut, terlihat ragu dan bingung.

“Siapa kau?” tanya Azura, suaranya sehalus angin yang berdesir.

Kedua mata pemuda itu melebar dengan kekaguman dan ketakutan sekaligus. Dia adalah Damar, seorang seniman yang selalu merasa bahwa dunia nyata tidak memuaskannya. Dalam pencariannya akan inspirasi, Damar terjerumus ke dalam obsesi untuk menemukan keindahan dalam kegelapan. “Saya… saya Damar. Saya mencari sesuatu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menenangkan diri.

“Dan kau berpikir ini adalah tempat untuk mencarinya?” Azura menatapnya tajam. “Dunia ini tidak sekadar kegelapan; di sini, banyak jiwa yang tersesat.”

Damar terdiam, tidak bisa menjawab. Namun dalam hatinya, ada kerinduan yang mendalam untuk menemukan sesuatu yang tak terjangkau oleh dunia nyata. “Saya ingin melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia,” katanya akhirnya, berusaha memberi alasan pada kehadirannya.

Azura merasakan ketulusan dalam pernyataan itu. Meski ia tahu bahwa niat Damar mungkin bisa berbahaya, ia juga merasakan benih harapan yang bisa tumbuh dalam jiwa sang seniman. “Jika kau benar-benar ingin melihat, kau harus siap dengan konsekuensinya. Kebangkitan dari sesuatu yang terabaikan bisa menyakitkan,” Azura memberi peringatan, namun Damar tetap bersikeras.

“Berikan saya satu kesempatan. Satu kesempatan untuk melihat dunia ini,” Damar memohon, keteguhan dalam suaranya memikat hati Azura.

Dengan enggan, Azura mengangguk. “Baiklah. Ikuti aku dan siapkan dirimu. Namun aku ingatkan, tidak semua yang kau lihat layak untuk dicintai.”

Damar mengikuti langkah Azura memasuki lapisan kegelapan yang lebih dalam. Helaian kabut seolah menyelimuti mereka, membawa ke tempat-tempat yang belum pernah dilihatnya. Pertama, mereka melewati lembah hitam di mana bayangan-bayangan raksasa melayang perlahan. Damar merasakan hawa dingin menyengat kulitnya ketika makhluk-makhluk itu berbisik, merayu untuk mendekat. Azura mengulurkan tangan, menahan Damar agar tidak terperangkap dalam pesona itu.

“Mereka adalah ilusi, hasil dari ketakutanmu,” Azura menjelaskan. “Jangan biarkan ketidakpastian menguasaimu.”

Setelah melewati lembah, mereka tiba di sebuah danau gelap yang tenang. Permukaan airnya berkilau seperti kaca, mencerminkan cahaya-cahaya yang samar. Di sana, Damar melihat sosok-sosok dirinya yang berbeda-beda, seolah menggambarkan setiap keputusan yang pernah ia buat. “Inikah aku?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.

“Ya, setiap pilihanmenentukan siapa dirimu kini. Di sini, kita melihat konsekuensi dari apa yang kau pilih. Namun ingat, bukan semua hal bisa diperbaiki,” jawab Azura, menegaskan pentingnya tanggung jawab.

Damar merasa terhimpit oleh berbagai citra dirinya, masing-masing menggambarkan penyesalan yang dalam. Namun di tengah semua itu, satu gambar menarik perhatian Damar: sebuah siluet yang melambangkan karyanya yang paling dicintainya, penuh warna dan kehidupan. “Aku ingin itu!” teriaknya.

Azura memandangnya dengan prihatin. “Keindahan selalu datang dengan harga. Apakah kau siap membayar harganya?”

Dengan sepenuh hati, Damar menjawab, “Ya, saya siap!”

Mendengar itu, Azura mengangguk dan melangkah ke tepi danau, mengulurkan tangan untuk meraih bayangan yang melambai. Dalam sekejap, cahaya benderang menyelimuti mereka, membawa Damar ke dalam dimensi yang lebih dalam. Tiba-tiba, suasana berubah. Kegelapan menjadi lebih pekat, dan suara bisikan semakin keras. Damar merasakan ketakutan menyelimutinya, namun juga ada optimisme di dalamnya.

“Jangan lupakan pelajarannya, Damar! Kegelapan bisa menghancurkan segala yang kita cintai!” teriak Azura, berjuang melawan arus yang memaksa mereka mundur.

Meski semua yang dilihatnya menampilkan sisi tergelap dari kecemasan dan kegagalan, Damar menolak mundur. Ia menatap ke arah cahaya warna-warni yang tampak redup di hadapannya. Akhirnya, ia menemukan patung dari karyanya yang diidamkan, setengah terbuat dari cahaya dan setengah dari bayangan. “Aku bisa melakukannya! Aku bisa mengubahnya!” Damar menyatakan.

Dia melangkah maju, terhubung dengan impiannya. Dalam sekejap, semua kegelapan itu mulai berkurang, kecemasan terbang dan warna-warni mulai bermunculan. Setiap langkahnya menghadirkan keberanian, dan Azura pun mengikutinya, merasakan perubahan yang diciptakan Damar.

“Ya! Itulah semangat yang kuharapkan!” Azura berteriak, meski suaranya hampir tertelan oleh keributan di sekitar.

Namun, saat Damar hampir menyentuh patung itu, ia teringat kata-kata Azura: “Kegelapan dapat menghancurkan.” Dalam momen tak terduga, bayangan-bayangan itu berusaha menggenggamnya, menariknya untuk kembali. Damar berdiri teguh, pertempuran batin melanda. Tapi pada akhirnya, kekuatan imannya terhadap seni dan kebaikan lebih kuat daripada bayangan suram yang menariknya. Dengan penuh keberanian, ia memecahkan ikatan itu dan berhasil mencapai karyanya.

Ketika jari-jarinya menyentuh patung, energi berkilau meledak ke udara. Dalam sekejap, seluruh dimensi itu diselimuti cahaya cerah, dan para makhluk kegelapan menyerah, kembali ke tempat asalnya. Damar merasa dirinya terangkat, seolah terbang dari kegelapan menuju cahaya.

Ketika semua kembali tenang, Azura berdiri di sampingnya, sebuah senyuman muncul di wajahnya yang misterius. “Kau telah melakukan hal yang luar biasa, Damar. Kau telah mengubah kegelapan menjadi cahaya. Namun ingat, ini adalah langkah awal. Seringkali, kita harus melawan kegelapan yang ada di dalam diri kita sendiri.”

Damar mengangguk, memahami beban tanggung jawab yang harus diembannya setelah ini. “Saya ingin melanjutkan perjalanan ini. Saya ingin membantu orang lain melihat keindahan dalam kegelapan, seperti yang kau tunjukkan padaku.”

Azura tersenyum lebih lebar. “Maka tugasmu di dunia nyata adalah menjadi penjaga bagi diri sendiri dan orang lain. Jangan lupakan pengalaman ini, agar kau bisa menginspirasi banyak jiwa.”

Dengan itu, Damar melangkah keluar dari portal, membawa serta pelajaran yang tak ternilai tentang keberanian dan keindahan. Dari dimensi gelap, ia melihat dunia baru yang siap dijelajahi, penuh oleh warna dan cahaya. Kegelapan bukanlah

**Penjaga di Dimensi Gelap**

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *