Penjaga Gerbang Antar Dimensi
November 16, 2024
Di suatu sore yang cerah di desa kecil bernama Selaras, terdapat sebuah tempat yang tak tampak oleh mata biasa. Di balik hutan lebat yang mengelilingi desa, tersembunyi sebuah gerbang kuno yang terbuat dari batu hitam yang berkilau dengan lambang-lambang misterius. Gerbang ini dikenal sebagai Gerbang Dimensi, dan hanya dapat dilihat oleh mereka yang memiliki jiwa petualang dan hati yang bersih. Penjaga gerbang ini adalah sosok yang dihormati dan ditakuti; seorang lelaki tua bernama Arga.
Arga telah menempati batas antara dimensi selama ratusan tahun. Selama waktu itu, ia menyaksikan banyak hal—perang, persahabatan, cinta, dan kehilangan. Kulitnya yang keriput dan rambutnya yang putih tidak mengurangi wibawanya; sebaliknya, itu justru memberi aura kebijaksanaan yang tak tertandingi. Ia memiliki kemampuan untuk membuka gerbang menuju dimensi lain, di mana petualangan menanti bagi mereka yang berani melangkah.
Suatu malam, saat bintang-bintang bersinar terang, sebuah suara memanggil namanya. Arga tahu itu bukan suara biasa. Dengan hati-hati, ia melangkah menuju gerbang dan menemukan seorang gadis muda berdiri di tepi batas dimensi. Gadis itu memiliki mata cerah dan rambut panjang yang berkibar angin, serta setetes air di ujung jari telunjuknya.
“Aku Maya,” katanya, dengan suara lembut, “aku ingin melewati gerbang ini.”
Arga menatap Maya dengan seksama. “Mengapa kau ingin melangkah ke dunia lain, nak?” tanyanya dalam nada tenang.
“Aku mencari jawaban,” jawab Maya, “jawaban tentang siapa diriku dan mengapa aku merasa terikat dengan dunia yang tidak sama dengan tempat aku berasal.”
Arga menyadari bahwa setiap generasi merasakan ketidakpuasan terhadap kenyataan yang ada. Masih teringat dalam benaknya saat ia menjadi muda, berkelana ke dimensi lain untuk mencari makna kehidupannya sendiri. Tanpa berpikir panjang, Arga berkata, “Baiklah, aku akan membawamu melewati gerbang ini. Namun ingat, setiap dimensi memiliki harga yang harus dibayar.”
Maya mengangguk, penuh semangat. Ini adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu. saat Arga mulai melafalkan mantra kuno dengan suara serak, gerbang mulai bergetar dan cahaya berkilau memancar dari retakan-retakan batu. Dapat dilihat siluet-siluet aneh yang bergerak di balik bayangan gerbang, seolah-olah menyerukan nama-nama mereka yang akan melintasinya.
Saat gerbang terbuka sepenuhnya, keduanya melangkah masuk. Dalam sekejap, mereka berada di sebuah dimensi yang sangat berbeda—landscape yang berbentuk aneh, langit berwarna ungu, dan bunga-bunga bercahaya yang tumbuh di mana-mana. Namun, keindahan itu ternyata menutupi kenyataan pahit. Di sini, makhluk dari berbagai ras berjuang demi kekuasaan dan keabadian.
Dengan langkah penuh ketelitian, Arga dan Maya menjelajahi dunia baru ini. Mereka melewati kota-kota yang dihuni oleh makhluk-makhluk aneh, para penyihir, dan makhluk dari legenda. Maya terpesona oleh semua keindahan dan keanehan ini, tetapi Arga pergi dengan hati-hati. Dia tahu bahwa setiap keindahan menyimpan bahaya yang tak terduga.
Di salah satu sudut kota, mereka bertemu dengan seorang penyihir bernama Delara. Dengan tatapan tajam dan senyuman licik, Delara menawari Maya kekuatan untuk mengetahui akar jati dirinya. “Temukan dirimu di sinar bulan,” ujarnya, menawarkan sebuah batu berkilau yang mengeluarkan cahaya lembut.
Maya merasa tertantang. “Apa harga yang harus kubayar?” tanyanya, ingat akan peringatan Arga.
“Tak ada harga yang lebih besar dari dirimu sendiri,” jawab Delara, “tapi, jika kau memilih untuk melangkah ke jalanku, kau akan melihat bayangan yang selalu kau hindari.”
Maya menatap Arga, yang tampak ragu. “Apa yang kau ingin lakukan?” tanyanya lembut.
“Aku ingin tahu siapa aku sebenarnya,” jawab Maya, “aku tidak bisa kembali tanpa menjawab pertanyaan ini.”
Arga menghela napas berat. Dia tahu tidak ada yang lebih berbahaya daripada mencari informasi tentang diri kita sendiri di dunia yang tidak dapat dipercaya. Namun, dia juga ingat bagaimana dia pernah merasakan hal yang sama. Akhirnya, dengan hati penuh rasa saling percaya, dia mengangguk. “Baiklah, tapi ingat, apapun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama.”
Maya menerima batu dari Delara dan menggenggamnya erat. Saat malam tiba, mereka pergi ke pelataran terbuka di mana cahaya bulan menyirami taman yang dipenuhi dengan bunga bercahaya. Dengan hati berdebar, Maya mengangkat batu itu dan berdoa.
Dalam sekejap, bayangan masa lalu mulai muncul di hadapannya. Dia melihat momen-momen penting dalam hidupnya—kenangan indah bersama keluarganya, tetapi juga momen-momen kelam saat ia merasa terasing dan tidak nyaman di dunia yang ia tinggali. Dia mulai memahami bahwa kesedihan dan kebahagiaan adalah bagian dari dirinya, bukan sesuatu yang harus disangkal.
Di sisi lain, Arga merasakan dampak dari ritual ini. Dalam kunjungannya ke dimensi lain, ia juga teringat akan kehilangan yang dialaminya. Sosok-sosok yang pernah dekat dengannya muncul. Suara-suara masa lalu membisikkan kepadanya untuk tidak melupakan siapa dirinya dan mengapa dia memilih untuk menjadi penjaga gerbang ini.
Saat mistik menyelimuti mereka, Delara tersenyum. “Kau telah menemukan kebenaran dirimu, Maya,” katanya, “sekarang, katakanlah bahwa kau ingin membayar harganya.”
Dengan keyakinan yang baru, Maya menjawab, “Aku bersedia menerima semua hal yang menyakitkan dalam diriku, separuh dari diriku yang hilang dan yang perlu kubangun.”
Dalam sekejap, cahaya dari batu itu berubah menjadi energinya sendiri dan menyelimuti Maya dan Arga. Saat pandangan mereka kabur, Maya merasakan sebuah kekuatan baru mengalir dalam dirinya—kekuatan untuk menghadapi masa lalunya dengan penuh penerimaan, sekaligus sebuah pengertian mendalam tentang arti kebangkitan; bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk Arga yang telah bersamanya.
Ketika semuanya terwujud, mereka kembali ke pelataran yang sepi. Hanya ada gemuruh angin yang berbisik seakan menyatakan bahwa mereka telah membayar harga mereka. Maya telah menemukan siapa dirinya—seorang pejuang dengan luka yang harus sembuh dan Arga, seorang penjaga yang tetap setia dalam tugasnya.
Keduanya tersenyum satu sama lain, penuh rasa syukur. Arga berkata, “Sekarang kita harus kembali ke gerbang. Tanggung jawab kita belum selesai.”
Sebelum beranjak, Delara melambaikan tangan. “Ingatlah, sebuah gerbang selalu terbuka bagi mereka yang sudah mendapatkan pelajaran. Kekuatan yang kalian bawa adalah anugerah.”
Maya dan Arga melangkah menuju gerbang, dan saat menginjak batu hitam itu, mereka merasakan ketegangan yang tertinggal di antara mereka. Dalam perjalanan kembali, Maya bersumpah untuk melindungi identitasnya dan tidak melupakan siapa dirinya.
Begitu mereka kembali ke dunia asal, kehangatan matahari menyapa mereka. Arga dan Maya kembali ke hutan yang sama, namun dengan pemahaman dan kekuatan yang baru.
“Ini hanyalah awal,” ucap Arga, “masih banyak dimensi yang menanti untuk dijelajahi. Tugas kita sebagai penjaga adalah melindungi apa yang ada di balik batas-batas ini.”
Maya menatap gerbang dimensi dengan senyuman, “Aku siap untuk petualangan berikutnya.”
Dan di sinilah kisah mereka dimulai—sebuah cerita tentang persahabatan, keberanian, dan penemuan diri antara dua jiwa yang terikat oleh takdir dan petualangan. Dengan Arga sebagai penjaga gerbang dan Maya yang kini mengerti siapa dirinya, mereka bersiap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar di dimensi yang tidak terbatas.
—
**Deskripsi Gambar:** Gambar menunjukkan seorang lelaki tua dengan kulit keriput dan rambut putih, berpakaian jubah panjang yang melambai di angin, berdiri di depan gerbang kuno terbuat dari batu hitam yang berkilau dengan lambang misterius. Di sampingnya, seorang gadis muda dengan rambut panjang bercahaya dan mata cerah, menatap penuh semangat ke arah gerbang yang terbuka, menampakkan cahaya terang dan bayangan dunia lain di baliknya. Suasana sekeliling dipenuhi dengan pemandangan hutan lebat dan langit malam yang berbintang.